Akulturasi adalah perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang
berlangsung dengan damai dan serasi. Contohnya, perpaduan kebudayaan antara
Hindu-Budha dengan kebudayaan Indonesia, dimana perpaduan antara dua kebudayaan
itu tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut.
Oleh karena itu, kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja. Hal ini disebabkan:
Oleh karena itu, kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja. Hal ini disebabkan:
·
Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang
cukup tinggi, sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah
perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
·
Kecakapan istimewa. Bangsa Indonesia memiliki apa yang disebut
dengan istilah local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima
unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia.
1. Seni Bangunan
Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada
bangunan masjid, makam, istana. Wujud akulturasi dari masjid kuno memiliki ciri
sebagai berikut:
a. Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke
atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya
ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan
akan keruncingannya yang disebut dengan Mustaka.
gambar mustaka
b. Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan
masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi
dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug
dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.
gambar bedug
c. Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat
alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit
atau dekat dengan makam.
Mengenai contoh masjid kuno dapat memperhatikan Masjid Agung
Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya. Selain
bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada
bangunan makam. Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat
dari:
a. makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat
yang keramat.
b. makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat
atau Kijing,nisannya juga terbuat dari batu.
c. di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang
disebut dengan cungkup atau kubba.
d. dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan
antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut
ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk
candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
e. Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid
makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya
masjid makam Sendang Duwur di Tuban.
Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan
Islam, juga memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun
ragam hias, maupun dari seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta
dilengkapi dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu).
2. Pakaian
Pakaian Adat Betawi,
orang Betawi pada umumnya mengenal beberapa macam pakaian. Namun yang lazim
dikenakan adalah pakaian adat berupa tutup kepala (destar) dengan baju jas yang
menutup leher (jas tutup) yang digunakan sebagai stelan celana panjang
Melengkapi pakaian adat pria Betawi ini, selembar kain batik dilingkari pada
bagian pinggang dan sebilah belati diselipkan di depan perut. Para wanita
biasanya memakai baju kebaya, selendang panjang yamg menutup kepala serta kain
batik. Pada pakaian pengantin, terlihat hasil proses asimilasi dart berbagai
kelompok etnis pembentuk masyarakat Betawi. Pakaian yang digunakan pengantin
pria, yang terdiri dari: sorban, jubah panjang dan celana panjang banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan Arab. Sedangkan pada pakaian pengantin wanita yang
menggunakan syangko (penutup muka), baju model encim dan rok panjang
memperlihatkan adanya pengaruh kebudayaan Cina Uniknya, terompah (alas kaki)
yang dikenakan oleh pengantin pria dan wanita dipengaruhi oleh kebudayaan Arab.
3. Karya Seni
Perwayangan di daerah jawa dan sekitarnya yang mengangkat cerita
Ramayana dan Mahabarata merupakan wujud akulturasi kebudayaan antara
Hindu-Budha di bidang kesenian.
Tari Betawi. Sejak dulu orang Betawi tinggal di berbagai
wilayah Jakarta. Ada yang tinggal di pesisir, di tengah kota dan pinggir kota.
Perbedaan tempat tinggal menyebabkan perbedaan kebiasaan dan karakter. Selain
itu interaksi dengan suku bangsa lain memberi ciri khas bagi orang Betawi. Tari
yang diciptakanpun berbeda. Interaksi orang Betawi dengan bangsa Cina tercipta
tari cokek, lenong, dangambang kromong.
Tari Kcak
adalah pertunjukan seni khas Bali yang diciptakan pada tahun 1930-an dan
dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh banyak
(puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris melingkar dan dengan
irama tertentu menyerukan “cak” dan mengangkat kedua lengan, menggambarkan
kisah Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Namun demikian,
Kecak berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan
berada pada kondisi tidak sadar, melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh
para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat.
Para penari yang duduk melingkar tersebut mengenakan kain kotak-kotak seperti
papan catur melingkari pinggang mereka. Selain para penari itu, ada pula para
penari lain yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti Rama, Shinta, Rahwana,
Hanoman, dan Sugriwa. Lagu tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang.
Selain itu, tidak digunakan alat musik. Hanya digunakan kincringan yang
dikenakan pada kaki penari yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana. Ini
merupakan akulturasi kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia.
4. Adat Kebiasaan
Kebiasaan jawa
Kebiasaan asli Tionghoa dalam beberapa hal
tidak pernah dipakai oleh Tionghoa peranakan. Beberapa diantaranya yakni
kebiasaan “mengikat kaki” yang menyebabkan kaki perempuan Tionghoa menjadi
sangat kecil; Kebiasaan perempuan Tionghoa peranakan pada abad ke-19 untuk
mengikir dan menghitamkan gigi para anak gadisnya adalah kebiasaan yang diambil
100% dari gadis-gadis Jawa; para perempuan peranakan Tionghoa di Jawa mempunyai
lebih banyak kebebasan dibanding dengan para perempuan Tionghoa di Tiongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar